Follow Me @aardhidr

Sunday, January 18, 2015

Kenali Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) untuk hidup yang lebih baik bagian 2



MANIFESTASI KLINIS

Gejala infeksi HIV

Pada awalnya sulit dikenali karena seringkali mirip penyakit ringan sehari-hari seperti flu dan diare sehingga penderita tampak sehat. Kadang-kadang dalam 6 minggu pertama setelah kontak penularan timbul gejala tidak khas berupa demam, rasa letih, sakit sendi, skait menelan dan pembengkakan kelenjar getah bening di bawah telinga, ketiak dan selangkangan. Gejala ini biasanyasembuh sendiri dan amapi 4-5 tahun mungkin tidak muncul gejala. 

Pada tahun ke 5 atau 6 tergantung masing-masing penderita, mulai timbul diare berulang, penurunan berat badan secara mendadak, sering sariawan di mulut dan pembengkakan di daerah kelenjar getah bening. Kemudian tahap lebih lanjut akan terjadi penurunan berat badan secara cepat (> 10%), diare terus-menerus lebih dari 1 bulan disertai panas badan yang hilang timbul atau terus menerus.

Tanda-tanda seorang tertular HIV

Sebenarnya tidak ada tanda-tanda khusus yang bisa menandai apakah seseorang telah tertular HIV, karena keberadaan virus HIV sendiri membutuhkan waktu yang cukup panjang (5 sampai 10 tahun hingga mencapai masa yang disebut fullblown AIDS). Adanya HIV di dalam darah bisa terjadi tanpa seseorang menunjukan gejala penyakit tertentu dan ini disebut masa HIV positif. Bila seseorang terinfeksi HIV untuk pertama kali dan kemudian memeriksakan diri dengan menjalani tes darah, maka dalam tes pertama tersebut belum tentu dapat dideteksi adanya virus HIV di dalam darah. 

Hal ini disebabkan kaena tubuh kita membutuhkan waktu sekitar 3 - 6 bulan untuk membentuk antibodi yang nantinya akan dideteksi oleh tes darah tersebut. Masa ini disebut window period (periode jendela) . Dalam masa ini , bila orang tersebut ternyata sudah mempunyai virus HIV di dalam tubuhnya (walau pun belum bisa di deteksi melalui tes darah), ia sudah bisa menularkan HIV melalui perilaku yang disebutkan di atas tadi. 

Secara umum, tanda-tanda utama yang terlihat pada seseorang yang sudah sampai pada tahapan AIDS adalah: 
  1. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam waktu singkat 
  2. Demam tinggi berkepanjangan (lebih dari satu bulan) 
  3. Diare berkepanjangan (lebih dari satu bulan) 

Sedangkan gejala-gejala tambahan berupa : 
  1. Batuk berkepanjagan (lebih dari satu bulan) 
  2. Kelainan kulit dan iritasi (gatal) 
  3. Infeksi jamur pada mulut dan kerongkongan 
  4. Pembengkakan kelenjar getah bening di seluruh tubuh, seperti di bawah telinga, leher, ketiak dan lipatan paha.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tes darah

Tes untuk mengetahui antibodi HIV pertama tersedia pada 1985. Baru setelah tes dapat diperoleh, muncul berbagai pertanyaan tentang bagaimana cara memakai tes tersebut. Umumnya, orang dapat dibagi dalam dua kubu: mereka yang setuju dengan tes secara sukarela dan mereka yang mengusulkan tes wajib. 

Gagasan wajib melakukan tes ditolak oleh sebagian besar negara akibat biaya dan masalah logistik yang terkait.3 Tiga negara yang mewajibkan tes adalah Kuba (75 persen warga dites), Bulgaria (45 persen dites) dan bekas Uni Soviet (30 persen). Karena HIV tidak ditularkan melalui hubungan biasa sehari-hari (yaitu, bukan virus yang diangkut udara) tetapi melalui perilaku tertentu, tes wajib untuk seluruh penduduk dilihat sangat mahal, secara ilmiah tidak dapat dibenarkan, dan dapat menimbulkan perlakuan tidak adil. 

Di negara lain, kelompok tertentu dijadikan sasaran, sering kali tanpa persetujuan dari yang bersangkutan. Kelompok ini mencakup narapidana, pekerja seks, pengguna narkoba dalam tempat pemulihan, dan wanita hamil. 

Penolakan terhadap tes HIV berarti program harus mengembangkan strategi untuk membujuk orang yang berisiko terinfeksi HIV untuk melakukan tes HIV karena akan bermanfaat untuk mereka.4 

Orang yang mengusulkan tes sukarela secara luas menganggap bahwa jika seseorang mengetahui apakah ia terinfeksi HIV atau tidak akan menjadi unsur penting dalam mendorong terjadinya perubahan. Berarti, orang dengan HIV akan menerapkan penggunaan narkoba atau hubungan seks yang lebih aman untuk melindungi pasangannya, dan orang yang memakai narkoba bersamanya. Untuk mereka yang HIV-negatif, akan mendorong perubahan perilaku agar meyakinkan bahwa mereka tidak tertular HIV di masa yang akan datang. 

Sebaliknya, ada yang menganggap bahwa setiap orang yang menggunakan narkoba dengan jarum suntik dan melakukan seks yang tidak aman harus mengubah perilakunya, terlepas apakah mereka HIV-positif atau tidak. Karena pesannya sama, tes tidak dibutuhkan dan dapat meningkatkan perlakuan tidak adil, stigmatisasi dan pengucilan. Daripada melakukan tes secara massal, mereka mengusulkan program pendidikan massal sebagai gantinya. 

Banyak negara di Asia melakukan gabungan antara tes wajib, tes sukarela dan surveilans sentinel.


BAGAIMANAKAH TES HIV DI PAKAI?


Umumnya tes HIV dipakai dalam dua cara: untuk surveilans masyarakat (surveilans sentinel) dan untuk diagnosis perorangan. Surveilans masyarakat biasanya dilakukan dengan melakukan tes intensif (skrining) terhadap kelompok kunci dalam masyarakat agar mengetahui luasnya penyebaran infeksi HIV. Ini dapat dilakukan dengan mengadakan skrining HIV pada perempuan hamil atau pasien IMS, agar mengetahui berapa yang terinfeksi HIV pada waktu tertentu: skrining ulangan di kemudian hari dapat menunjukkan cepatnya HIV menyebar dalam masyarakat tertentu itu. Orang yang dites dengan cara ini tidak diberitahukan hasil tesnya dan hasilnya juga anonim (tanpa nama). 

Tes perorangan adalah untuk mereka yang merasa mungkin telah terpajan oleh HIV melalui praktek penyuntikan, seks yang berisiko, atau dari transfusi darah. Tes seperti ini harus mencakup konseling prates dan pascates (untuk informasi lebih lanjut lihat ini). Melakukan tes memungkinkan orang untuk mengubah perilakunya sehingga mereka tidak menularkan virus itu (jika hasil tesnya positif) atau, jika hasil tes mereka negatif, untuk meyakinkan mereka supaya tidak tertular virus ini di masa mendatang. Tes juga bisa berarti bahwa orang mungkin mendapatkan saran-saran berkaitan dengan kesehatan mereka, pengobatan untuk infeksi oportunistik seperti TB, dan informasi tentang bagaimana mengurangi kemungkinan menularkan virus pada bayinya yang belum lahir, saat melahirkan atau ketika menyusui.

PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN


Pencegahan 

Gunakan selalu jarum suntik yang steril dan baru setiap kali akan melakukan penyuntikan atau proses lain yang mengakibatkan terjadinya luka 

Selalu menerapkan kewaspadaan mengenai seks aman (artinya : hubungan seks yang tidak memungkinkan tercampurnya cairan kelamin, karena hal ini memungkinkan penularan HIV) 

Bila ibu hamil dalam keadaan HIV positif sebaiknya diberitahu tentang semua resiko dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada dirinya sendiri dan bayinya, sehingga keputusan untuk menyusui bayi dengan ASI sendiri bisa dipertimbangkan. 

Ada tiga cara: 

  1. Abstinensi (atau puasa, tidak melakukan hubungan seks) 
  2. Melakukan prinsip monogami yaitu tidak berganti-ganti pasangan dan saling setia kepada pasangannya 
  3. Untuk yang melakukan hubungan seksual yang mengandung risiko, dianjurkan melakukan seks aman termasuk menggunakan kondom 


Ada dua hal yang perlu diperhatikan:


  1. Semua alat yang menembus kulit dan darah (jarum suntik, jarum tato, atau pisau cukur) harus disterilisasi dengan benar 
  2. Jangan memakai jarum suntik atau alat yang menembus kulit bergantian dengan orang lain 

Pengobatan 

Berbagai pengobatan telah diterapkan untuk penyembuhan AIDS. Yang banyak dipraktikkan sampai saat ini adalah pengobatan dengan obat kimia (chemotherapy). Obat-obat ini biasanya adalah inhibitor enzim yang diperlukan untuk replikasi virus, seperti inhibitor reverse transcriptase dan protease. 

Zidovudin-lebih dikenal dengan AZT-adalah obat AIDS yang pertama kali digunakan. Obat yang merupakan inhibitor enzim reverse transciptase ini mulai digunakan sejak tahun 1987. Setelah itu dikembangkan inhibitor protease seperti indinavir, ritonavir, dan nelfinavir. Sampai saat ini Food and Drug Administration (FDA) Amerika telah mengizinkan penggunaan sekitar 20 jenis obat-obatan.

Pada umumnya, pemakaian obat-obat ini adalah dengan kombinasi satu sama lainnya karena pemakaian obat tunggal tidak menyembuhkan dan bisa memicu munculnya virus yang resisten terhadap obat tersebut. Pemakaian obat kombinasi menjadi standar pengobatan AIDS saat ini, yang disebut highly active antiretroviral threrapy (HAART). Walaupun demikian, cara ini juga masih belum efektif. 

Zidovudin (ZDV) : Merupakan analog nukleosida, dan bekerja pada enzim reverse transcriptase. CDC telah menyarankan pemakaian obat ini untuk infeksi HIV. Dosis: 500-600 mg/hari, pemberian setiap 4 jam @ 100 mg, 

Didanosin (DDI) : Belum ada rekomendasi pemberian DDI sebagai terapi pertama, melainkan dipakai bila penderita tidak toleran terhadap ZDV, atau sebagai pengganti ZDV dimana ZDV sudah amat lama dipakai, atau bila pengobatan dengan ZDV tidak mendapatkan hasil. Dosis: 2x100 mg, setiap 12 jam (BB<60 Kg) atau 2x125 mg, setiap 12 jam (BB>60 Kg) 

Dideoxycytidine (DDC, Zalcitabine): Diberikan sebagai kombinasi dengan ZDV, tetapi belum cukup pengalaman untuk pemakaian tersebut. Dosis: 0,03 mg/KgBB, diberikan setiap 4 jam. 

Obat-obat lain: Berbagai jenis obat antiretroviral dikembangkan namun masih dalam taraf penelitian. Yang cukup menjanjikan ialah derivat HEPT dan TIBO, yang menghambat HIV-1 secara sangat spesifik, namun tidak HIV-2. Senyawa ini bekerja pada enzim reverse transcriptase. Vaksin untuk mencegah penularan HIV sampai saat ini belum diketemukan. 

Terapi kombinasi : Banyak ahli cenderung mempergunakan terapi kombinasi ZDV dengan obat antiretroviral lain, misalnya: Triple: Saquinavir 1800 mg/hari (Ro.31-8959), ZDV 600 mg/hari, DDC 2,5 mg/hari. Double: DDC+ZDV, DDC+saquinavir. Terapi kombinasi terbukti memberikan hasil lebih baik dan mengurangi kemungkinan timbulnya resistensi virus terhadap obat-obat antiretroviral tersebut. 


Terapi gen 

Pendekatan lain yang dilakukan adalah terapi gen. Artinya, pengobatan dilakukan dengan mengintroduksikan gen anti-HIV ke dalam sel yang terinfeksi HIV. Gen ini bisa berupa antisense dari dari salah satu enzim yang diperlukan untuk replikasi virus tersebut atau ribozyme yang berupa antisense RNA dengan kemampuan untuk menguraikan RNA target. 

Antisense yang diintroduksikan dengan vektor akan menjalani proses transkripsi menjadi RNA bersamaan dengan messenger RNA virus (mRNA). Setelah itu, RNA antisense ini akan berinteraksi dengan mRNA dari enzim tersebut dan mengganggu translasi mRNA sehingga tidak menjadi protein. Karena enzim yang diperlukan untuk replikasi tidak berhasil diproduksi, otomatis HIV tidak akan berkembang biak di dalam sel. Sama halnya dengan antisense, ribozyme juga menghalangi produksi suatu protein tapi dengan cara menguraikan mRNA-nya 

Pendekatan yang dilakukan dengan fokus RNA ini juga bagus dilihat dari segi imunologi karena tidak mengakibatkan respons imun yang tidak diinginkan. Hal ini berbeda dengan pendekatan melalui protein yang menyebabkan timbulnya respons imun di dalam tubuh. 

Untuk keperluan terapi gen seperti ini, dibutuhkan sistem pengiriman gen yang efisien yang akan membawa gen hanya kepada sel yang telah dan akan diinfeksi oleh HIV. Selain itu, sistem harus bisa mengekspresikan gen yang dimasukkan (gen asing) dan tidak mengakibatkan efek yang berasal dari virus itu sendiri. Untuk memenuhi syarat ini, HIV itu sendiri penjadi pilihan utama. 


HIV sebagai vector 

Pemikiran untuk memanfaatkan virus HIV sebagai vektor dalam proses transfer gen asing ini diwujudkan pertama kali pada tahun 1991 oleh Poznansky dan kawan-kawan dari Dana-Farber Cancer Institute Amerika. Setelah itu penelitian tentang penggunaan HIV sebagai vektor untuk terapi gen berkembang pesat. 

Wenzhe Ho dari The Children Hospital of Philadelphia bekerja sama dengan Julianna Lisziewicz dari National Cancer Institute berhasil menghambat replikasi HIV di dalam sel dengan menggunakan anti-tat, yaitu antisense tat protein (enzim yang esensial untuk replikasi HIV). Sementara itu, beberapa grup juga berhasil menghambat perkembangbiakan HIV dengan menggunakan ribozyme. 

Hal yang penting lagi dalam sistem ini adalah tingkat ekspresi gen yang stabil. Dari hasil percobaan dengan tikus, sampai saat ini telah berhasil dibuat vektor yang bisa mengekspresikan gen asing dengan stabil dalam jangka waktu yang lama pada organ, seperti otak, retina, hati, dan otot. Walaupun belum sampai pada aplikasi secara klinis, aplikasi vektor HIV untuk terapi gen bisa diharapkan. 

Hal ini lebih didukung lagi dengan penemuan small interfering RNA (siRNA) yang berfungsi menghambat ekspresi gen secara spesifik. Prinsipnya sama dengan antisense dan ribozyme, tapi siRNA lebih spesifik dan hanya diperlukan sekitar 20 bp (base pair) sehingga lebih mudah digunakan. 

Baru-baru ini David Baltimore dari University of California Los Angeles (UCLA) berhasil menekan infeksi HIV terhadap human T cell dengan menggunakan siRNA terhadap protein CCR5 yang merupakan co-receptor HIV. Dalam penelitian ini, HIV digunakan sebagai sistem pengiriman gen. 

Semoga metode ini dapat segera digunakan untuk pengobatan AIDS di seluruh dunia. 


Penatalaksanaan stadium lanjut 

Pada stadium lanjut, tingkat imunitas penderita sudah sangat menurun dan banyak komplikasi dapat terjadi, umunya berupa infeksi oportunistik yang mengancam jiwa penderita. 

Zidovudin (ZDV)

Pada stadium lanjut ZDV juga cukup banyak memberikan manfaat. Pada keadaan penyakit yang berat dosis ZDV diperlukan lebih tinggi, agar dapat menembus ke susunan syaraf pusat (SSP). Dosis dan pemberian belum ada kesepakatan, tetapi sebagai dosis awal pada penderita dengan berat badan 70 Kg, diberikan ZDV 1000 mg, dalam 4-5 kali pemberian. 

Pengobatan infeksi oportunistik
Infeksi HIV merupakan infeksi kronis yang kompleks sehingga memerlukan perawatan multidisipliner, para spesialis, konselor dan kelompok-kelompok pendukung lainnya. Umumnya pada stadium yang lebih lanjut lanjut, bila sekali muncul infeksi maka jarang bersifat tunggal tetapi beberapa macam infeksi bersamaan. Keadaan ini memerlukan pengobatan yang rumit. Bila sudah timbul keadaan yang demikian maka sebaiknya penanganan penderita dilakukan oleh sebuah tim. 


Perawatan fase terminal 

Sampai saat ini dapat dinyatakan bahwa AIDS adalah penyakit fatal, belum dapat disembuhkan. Oleh karena itu penderita yang kita rawat akhirnya akan sampai pada fase terminal sebelum datangnya kematian. 

Pada fase terminal, dimana penyakit sudah tak teratasi, pengobatan yang diberikan hanyalah bersifat simptomatik dengan tujuan agar penderita merasa cukup enak, bebas dari rasa mual, sesak, mengatasi infeksi yang ada dan mengurangi rasa cemas.

 Tabel beberapa jenis infeksi oportunistik dan keganasan serta obat-obatannya

Infeksi oportunistik dan keganasan
Obat yang dipakai
Pneumocystis carinii (PCP)
Toxo[lasma gondii
Candidiasis
Cryptococcus Neoformans
Histoplasmosis
Coccidioidomycosis
Mycobacterium tuberculosis


Herpes virus
Cytomegalo virus
Cryptoccocc sporidiosis
Isosporiasis
Multifocl leukoenselopati progresif
Kanker oportunistik:
Kaposi
Limfoma Non Hodgkin
Trimethoprim+sulfamethoksasol+dapson
Pyrimetamin+sulfadiazine
Flukonazol atau Amphotericine B IV
Amphotericine B IV
Amphotericine B
Amphotericine B
Triple drug sekurangnya 9 bulan. Bila dengan double drug (tanpa isoniazid atau rifampisin) pengobatan harus diberikan minimal 18 bulan.
Aksiklovir
Ganciclovir, Foscarnet
Somastitatin analogues
Trimethoprim+Sulfamethoksazol.
Aksiklovir, Sitarabin

Sitostatik sistemik/lokal, radio terapi
Sitostatik dalam regimen CHOP


DAFTAR PUSTAKA

  1. Quinn TC, Wawer MJ, Sewankambo N, et al. Viral load and heterosexual transmission of human immunodeficiency virus type 1. N Engl J Med 2000;342:921-929. 
  2. Diagnoses of HIV/AIDS — 32 states, 2000–2003. MMWR Morb Mortal Weekly Rep 2004;53:1106-10. 
  3. CDC posts new HIV testing, referral guidelines. AIDS Alert 2002;17:2, 8-10. 
  4. Paltiel AD, Weinstein MC, Kimmel AD, et al. Expanded screening for HIV in the United States -- an analysis of cost-effectiveness. N Engl J Med 2005;352:586-595. 
  5. Sanders GD, Bayoumi AM, Sundaram V, et al. Cost-effectiveness of screening for HIV in the era of highly active antiretroviral therapy. N Engl J Med 2005;352:570-585. 
  6. Bulterys M, Jamieson DJ, O'Sullivan MJ, et al. Rapid HIV-1 testing during labor: a multicenter study. JAMA 2004;292:219-223. 
  7. Markowitz M, Mohri H, Mehandru S, et al. Infection with multidrug resistant, dual-tropic HIV-1 and rapid progression to AIDS: a case report. Lancet 2005;365:1031-1038. 
  8. Goulder PJ, Walker BD. HIV-1 superinfection -- a word of caution. N Engl J Med 2002;347:756-758.  
  9. Guidelines for the use of antiretroviral agents in HIV-1 infected adults and adolescents. Panel on clinical practices for treatment of HIV infection (Department of Health and Human Services). 
  10. Aberg JA, Gallant JE, Anderson J, et al. Primary care guidelines for the management of persons infected with human immunodeficiency virus: recommendations of the HIV Medicine Association of the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis 2004;39:609-629. 
  11. Recommendations of an International AIDS Society-USA Panel. Clin Infect Dis 2003;37:113-128. 

Temukan perbedaan HIV dan AIDS pada postingan berikutnya

No comments:

Post a Comment

Saran dan kritik anda sangat diperlukan untuk hasil yang lebih optimal